RESEP HIDUP BAHAGIA ADALAH BERIMAN DENGAN BENAR
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(An Nahl: 97)
Kebahagiaan hidup adalah cita cita setiap manusia. Seringkali kita melihat seluruh manusia setiap hari berusaha untuk menggapai kebahagiaan. Setiap hari kita berjibaku dan berpeluh keringat untuk mendapatkan kebahagiaan.
Manusia memiliki pandangan beragam tentang sesuatu yang dapat membuatnya bahagia. Sebagian orang ada yang hanya berusaha mengumpulkan uang baik dengan cara halal atau haram karena ia menganggap kebahagiaan ada pada uang yang mencukupi dan melimpah. Sehingga seluruh tenaga, dan pikirannya terpusat kepada bagaimana mendapatkan uang sebanyak banyaknya. Sebagian lagi ada yang menganggap bahwa kebahagiaan terletak pada kedudukan yang tinggi di masyarakat. Orang semacam ini setiap hari berusaha untuk mencari kedudukan terpandang dengan cara halal atau haram. Ia tidak memiliki pikiran selain hanya bagaimana caranya ia naik pangkat atau menjadi pejabat. Seluruh pikiran dan tenaga orang semacam ini akan dikerahkan untuk menggapai kedudukan, dan jabatan yang tinggi. Namun apakah kebahagian hakiki itu?.
Allah berfirman dalam surat an Nahl ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(An Nahl:97)
Imam Ibnu Katsir rohimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata:
“Ini adalah janji Allah kepada siapa saja yang beramal sholih baik dari laki laki atau perempuan dari keturunan Adam ‘alaihissalam sedangkan hatinya dalam keadaan beriman kepada Allah dan Rosul-Nya. Amalan sholih itu adalah amalan yang sesuai dengan kitabullah dan sunnah Rosul-Nya, diperintahkan, dan disyariatkan Allah. Orang yang memenuhi ini maka Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan Allah akan membalasnya dengan balasan yang lebih baik di hari akherat.” [1]
Ungkapan mirip juga disebutkan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rohimahullah, beliau berkata:
“Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dan menjanjikan bagi orang yang dapat mengumpul-kan antara iman dan amal shalih untuk mendapatkan kehidupan yang baik di dunia ini dan balasan yang baik pula di dunia dan akhirat.”[5]
Penjelasan dua ulama ini dapat kita ambil point point penting sebagai berikut,
· Ayat ini adalah janji Allah kepada hambanya yang memenuhi syarat yang disebutkan.
Allah berfirman:
…وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا
“Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ?”
(An Nisaa: 122)
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ
“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.”
(Ar Ruum: 60)
· Syarat inti untuk mendapatkan “kehidupan yang baik” (حَيَاةً طَيِّبَةً) iman yang benar sehingga membuahkan amalan sholih.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rohimahullah berkata:
“Sebabnya sudah jelas, karena orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan iman yang benar yang dapat membuahkan amal shalih dan dapat memperbaiki kondisi hati, moral (tingkah lakunya), atau urusan keduniaan dan akhiratnya, berarti dia sudah mem-punyai pondasi dan dasar yang kuat untuk menghadapi segala kemungkinan. Kemungkinan baik yang mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan atau kemungkinan buruk yang dapat mendatangkan kegoncangan, kesumpekan dan kesedihan.” [5]
Bahkan suatu amalan tidaklah dikatakan sholih walaupun amalan itu baik jika tidak berlandaskan iman yang benar.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rohimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini:
“Iman adalah syarat benar dan diterimanya suatu amalan sholih. Bahkan tidaklah disebut amal sholih kecuali jika berlandaskan iman (yang benar).” [2]
Ungkapan senada juga diucapkan Syaikh Abu Bakar Jabir al Jaza-iri hafizhahullah ketika menjelaskan makna (وَهُوَ مُؤْمِنٌ) “Dia dalam keadan beriman” pada ayat ini. [3]
· Salah satu makna “kehidupan yang baik” (حَيَاةً طَيِّبَةً) adalah kebahagiaan.
Para ulama ahli tafsir menjelaskan maksud kehidupan yang baik sangat beragam. Namun semuanya saling menguatkan.
‘Ali bin Abi Tholhah, Wahb Ibn Munabbih, ‘Ikrimah dan salah satu riwayat dari Ibnu Abbas menafsirkan dengan : Qona’ah. [1]
Ibnu Abbas dari riwayat ‘Ali bin Abi Tholhah menafsirkan dengan : Kebahagiaan. [1]
Riwayat Ibnu Abbas dan Jama’ah: Rizki halal dan baik. [1]
Hasan, Mujahid, dan Qotadah: Kehidupan di surga. [1]
Sedangkan adh Dhohak: Rizki halal dan baik serta ibadah di dunia. [1]
Pendapat tentang makna “kehidupan yang baik” (حَيَاةً طَيِّبَةً) yang benar adalah semua hal yang diterangkan tersebut baik di dunia dan diakherat sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Katsir rohimahullah. [1]
Contoh 2 manusia berbeda dalam menyikapi kenikmatan dan kesulitan
Setelah kita memahami bahwa iman yang benar adalah inti resep agar hidup kita bahagia maka untuk mempermudah pemahaman kita akan melihat bagaimana contoh sikap manusia dalam menyikapi kenikmatan dan kesulitan. Manusia pertama adalah manusia yang beriman dengan benar dan beramal sholih sedangkan manusia kedua tidak beriman dengan benar.
* Manusia yang beriman dengan benar. [5]
o Cara menyikapi kenikmatan: ia menerima kenikmatan itu, mensyukuri, dan mempergunakan untuk hal hal yang bermanfaat. Jika berhasil menerima dan menggunakannya dengan cara ini serta mendambakan pahala syukur maka akan bertambah kebahagiaannya melebihi kebahagiaan orang yang hanya menerima kenikmatan saja tapi tidak menggunakan untuk hal hal yang lebih bermanfaat.
o Cara menyikapi kesulitan: ia menerima cobaan itu, yang mampu ia atasi maka dia berusaha untuk memecahkan, yang hanya mampu ia minimalisasi maka ia lakukan, namun jika harus ia hadapi semua maka ia hadapi dengan sabar. Dampak ini semua ditambah dengan pengharapan akan pahala sabar adalah ujian dan cobaan itu terasa ringan bahkan berubah menjadi keinginan dan harapan baik.
* Manusia yang tidak beriman dengan benar.
o Cara menyikapi kenikmatan: ia menyambutnya dengan keangkuhan, menolak kebenaran dengan kezhaliman sehingga perlikunya melenceng. Dia sambut kenikmatan seperti hewan. Walau telah mendapatkan kenikmatan itu tapi hatinya tidak akan tenang bahkan terasa dicabik cabik disegala penjuru. Ia khawatir nikmatnya akan hilang. Ia tidak pernah puas dan selalu khawatir dan berkeinginan untuk mendapat dan menjaga kenikmatan itu. Hal ini karena hawa nafsu tidak akan pernah berhenti hingga manusia mati.
o Cara menyikapi kesulitan: ia menyambut musibah dengan kegoncangan, kegundahan, rasa takut, dan jengkel. Jika sudah demikian maka dampaknya adalah timbulnya penyakit penyakit saraf, perasaan takut yang sangat, kegilaan, stroke bahkan bunuh diri. Hal ini karena ia tidak memiliki kesabaran dan pengharapan terhadap pahala sabar ketika menghadapi musibah.
Kebahagiaan yang diraih setiap manusia tergantung dari kualitas keimanan dan amalan sholihnya. Sehinga kita dapat melihat perbedaan kentara cara manusia menyikapi kenikmatan dan musibah.
Sungguh ajaib apa yang digambarkan Rosulullah shalallahu’alaihi wa salam tentang kondisi muslimin. Dari Shuhaib ar Ruumi rodhiyallahu’anhu ia berkata bahwa Rosulullah shallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Sungguh luar biasa urusan seorang mu’min itu. Sesungguh-nya setiap urusannya (akan mendatangkan) kebaikan. Bila dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur dan (syukur) itu adalah kebaikan untuknya. Bila dia mendapatkan musibah, dia bersabar dan (sabar) itu adalah kebaikan untuknya. Hal itu tidak (diberikan) untuk siapa pun kecuali untuk seorang mu’min.”
(Hadits Riwayat Muslim no 5318) [4]
Jadi marilah kita mengamalkan kandungan surat al Ashr: berilmu dengan benar tentang Iman dan beriman dengan benar, beramal sholih, berdakwah, dan bersabar ketika berilmu, beramal, dan berdakwah.
Rujukan:
Kitab Tafsir
[1] Tafsir Alqur’anil Azhim, karya Imam Ibnu Katsir. Penerbit Dar Thoyyibah lin Nasyr wat Taujih, cetakan tahun 1420 H.
[2] Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Manan, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di. Penerbit Muasasah ar Risalah, cetakan tahun 1420 H.
[3] Aisarut Tafasir, karya Syaikh Abu Bakar Jabir al Jaza-iri.
Kitab Hadits
[4] Kitab Shohih, karya Imam Muslim.
Kitab Umum
[5] Al Wasaailul Mufidah lil Hayatis Sa’idah, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di.
Penulis:
Abu Ahmad Abdul Alim Ricki Kurniawan al Mutafaqqih
Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Brawijaya Malang, dan Aktifis Dakwah Kampus
Media berbagi pengalaman, ide dan informasi. Hargailah sekecil apapun informasi yang diterima.
Selasa, 30 November 2010
Rabu, 17 November 2010
Senin, 15 November 2010
HUKUM MERAYAKAN ULANG TAHUN ANAK
Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".�
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan". [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".�
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan". [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Langganan:
Postingan (Atom)